TbT
Misi
penciptaan manusia oleh Allah سبحانه و تعالى ke muka bumi ialah untuk beribadah
kepada Allah سبحانه و تعالى semata. Perkara ini harus difahami dan dihayati
oleh setiap hamba Allah yang mengaku beriman. Alangkah naifnya bila ada seorang
manusia yang berhasil meraih aneka keberhasilan duniawi namun ia tidak memahami
bahwa misi hidupnya adalah pengabdian kepada Rabb Pencipta jagat raya yang
sejatinya telah mengizinkan dirinya meraih berbagai keberhasilan itu
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
"Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
(beribadah) kepada-Ku." (QS.
Adz-Dzaariyat [51] : 56)
Selanjutnya,
Allah سبحانه و تعالى menjelaskan bahwa segenap bentuk pengabdian atau ibadah yang
dilakukan manusia di dunia hendaklah ditujukan dalam rangka menggapai taqwa
kepada Allah سبحانه و تعالى .
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai
manusia, ber-ibadahlah (sembahlah) Rabbmu Yang telah menciptakanmu dan
orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] : 21)
Demikian
pula halnya dengan syariat ibadah syiam (berpuasa). Allah سبحانه و تعالى telah
mewajibkan orang beriman mengerjakan puasa agar meraih taqwa kepada Allah
سبحانه و تعالى .
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah [2] : 183)
Taqwa
kepada Allah سبحانه و تعالى merupakan perkara yang sedemikian pentingnya,
sehingga tidak ada seorangpun khotib jum’at menyampaikan khutbahnya kecuali
mesti mengandung nasihat taqwa kepada jama’ah sholat jum’at. Selanjutnya
biasanya sang khatib mengutip ayat Al-Qur’an berikut ini:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ
إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
"Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama Islam." (QS. Ali Imran [3] : 102)
Bila
Allah سبحانه و تعالى memerintahkan orang beriman agar bertaqwa kepada Allah
dengan sebenar-benar taqwa, berarti ada pula sebagian orang yang mengaku
beriman tidak mencapai taqwa yang sebenar-benarnya alias taqwa yang tidak
sebagaimana dikehendaki Allah سبحانه و تعالى . Bagaimanakah taqwa yang
sebenar-benarnya taqwa itu? Apakah indikatornya?
Ternyata
di dalam Al-Qur’an kita jumpai ayat yang menjelaskan bahwa orang yang bertaqwa
kepada Allah سبحانه و تعالى niscaya akan memperoleh furqan.
يا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ
فُرْقَاناً وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللّهُ
ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
"Hai
orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan
kepadamu Furqaan . Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan
mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfaal [8] : 29)
Seorang
Muttaqin diberikan Allah سبحانه و تعالى karunia besar berupa “furqan”
(kemampuan membedakan antara al-haq/kebenaran dengan al-bathil/kebatilan).
Seorang muttaqin tidak mudah hanyut mengikuti arus kebanyakan manusia yang
sudah terbiasa mencampur-adukkan keduanya. Jelas ini merupakan buah taqwa yang
sangat penting dan mendasar. Inilah di antara indikasi utama seseorang tidak
sekedar bertaqwa kepada Allah سبحانه و تعالى tetapi bahkan mencapai
sebenar-benarnya taqwa. Dan Allah سبحانه و تعالى melarang keras manusia
mencampuradukkan antara al-haq dengan al-bathil.
وَلاَ
تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan
janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu
sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 42)
Bila
seseorang, apalagi suatu masyarakat, sudah terbiasa mencampuradukkan antara
al-haq dengan al-bathil, maka masyarakat itu bakal mengorbankan al-haq dan
memenangkan al-bathil. Penulis sangat khawatir bahwa gejala inilah yang telah
mendominasi masyarakat kita, sehingga tidak ada satu kasuspun yang terjadi di
negeri ini kecuali penyelesaiannya tidak sampai menyentuh akar masalahnya.
Mengapa? Karena sebagian besar fihak yang bertanggung-jawab sudah “tahu sama
tahu” bahwa mereka semua terlibat di dalam menyembunyikan al-haq. Maka dalam
masyaratkat seperti itu selalu saja yang keluar sebagai “pemenang” adalah
al-bathil. Itulah yang Allah سبحانه و تعالى sebutkan di dalam ayat di atas.
Bahwa jika manusia mengabaikan larangan mencampuradukkan al-haq dengan
al-bathil pasti mereka bakal menyembunyikan al-haq. Dan di lain sisi mereka
bakal “memenangkan” al-bathil. Dan itu berarti bahwa mayoritas manusia yang
mengaku beriman di dalam masyarakat tersebut belum mencapai taqwa kepada Allah
سبحانه و تعالى dengan sebenar-benarnya taqwa...! Sebab terbukti bahwa ketaqwaan
yang mereka miliki tidak sampai menghasilkan furqan.
Lalu
bagaimanakah kita dapat membedakan antara al-haq dengan al-bathil itu? Adakah
tolok ukur yang jelas bahwa seseorang telah meraih taqwa yang menghasilkan
furqan atau kemampuan membedakan antara al-haq/kebenaran dengan
al-bathil/kebatilan? Apalagi kita yang hidup di era modern ini dimana fitnah
telah begitu merajalela, sanggupkah kita tetap melihat bahwa yang benar itu
adalah benar dan yang batil itu adalah batil? Padahal seruan dan ajakan yang
berkumandang dewasa ini sedemikian banyak dan beraneka-macamnya. Kita kenal
adanya seruan kepada Islam, kapitalisme, komunisme, liberalisme, sosialisme,
pluralisme, humanisme, sekularisme, hedonisme, pragmatisme, ateisme, demokrasi,
nasionalisme dan lain-lainnya.
Kalau
kita merujuk kepada ucapan Allah سبحانه و تعالى di dalam Kitabullah Al-Qur’an,
ternyata betapapun banyak dan beraneka-ragamnya seruan di tengah dunia modern
penuh fitnah dewasa ini, pada akhirnya Allah سبحانه و تعالى menerangkan bahwa
pada hakikatnya hanya ada dua seruan saja: ajakan kepada al-haq/kebenaran dan
ajakan kepada al-bathil/kebatilan. Tidak ada bentuk ajakan selain kedua jenis
tersebut.
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ
الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
"Kuasa
Allah, yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Al-Haq
(kebenaran) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah,
itulah Al-Bathil (kebatilan), dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi
lagi Maha Besar." (QS. Al-Hajj
[22] : 62)
Berdasarkan
ayat di atas berarti tolok-ukur perkara furqan ini menjadi sangat sederhana.
Barangsiapa mengajak kepada Allah سبحانه و تعالى berarti ia mengajak kepada
al-haq/kebenaran. Dan barangsiapa mengajak kepada selain Allah سبحانه و تعالى
berarti ia sedang mengajak manusia kepada al-bathil/kebatilan.
Artinya,
bilamana ada seseorang atau suatu kelompok, golongan atau partai mengaku
dirinya sebagai “pembela kebenaran”, maka kita tinggal minta mereka menjelaskan:
apa sih yang anda maksud dengan kebenaran? Jika penjelasannya panjang lebar,
berputar-putar dan menggunakan berbagai istilah dan uraian canggih namun pada
intinya tidak secara tegas dan jelas menyatakan bahwa kebenaran yang dibela
adalah Allah سبحانه و تعالى dan segala yang terkait dengan Allah سبحانه و تعالى
(yakni nilai-nilai Ilahi, dien Allah, aturan Allah serta hukum Allah) berarti
orang dan kelompok tersebut berdusta. Mereka sesungguhnya tidak membela
al-haq/kebenaran. Sebab jelas sekali Allah berfirman bahwa “Kuasa Allah,
yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah Al-Haq
(kebenaran)...” Dan sebaliknya Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa: “...dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah Al-Bathil
(kebatilan)...” Allah menghendaki agar setiap mukmin hanya dan hanya
mengajak kepada kebenaran yang datangnya dari Allah Rabb semesta alam bukan
selain daripada itu. Artinya, setiap "pejuang kebenaran" sejati hanya
mengajak manusia ramai untuk menuju kepada Allah saja dan apa-apa yang
berkaitan dengan Allah. Ia hanya mengajak manusia kepada dien Allah,
nilai-nilai Allah dan hukum Allah, bukan yang selain daripada itu.
Dan
perlu diketahui pula bahwa mampu membedakan antara al-haq dengan al-bathil
merupakan perkara yang perlu ditindak-lanjuti lebih jauh lagi. Sebab faktanya
ada orang yang sanggup membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Tetapi
nyatanya ia tidak mau atau tidak sanggup berfihak kepadanya. Demikian pula, ada
orang yang sudah tahu bahwa yang batil itu batil, tetapi ia tidak mau atau
tidak sanggup meninggalkan/menjauhinya. Kepada “al-haq” itulah setiap mukmin
memberikan wala’-nya (loyalitas) sebagai aplikasi kalimat istbat (peneguhan)
“ill-Allah”. Dan kepada “al-bathil” atau “adh-dholal” (kesesatan) ia melakukan
bara’ah-nya (pemutusan hubungan) sebagai aplikasi kalimat nafyi (penafian)
“Laa ilaaha”.
Oleh
karenanya doa yang kita panjatkan kepada Allah سبحانه و تعالى berbunyi:
اللهم
أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه إنك سميع
مجيب
"Ya
Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah
kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang
batil itu adalah batil dan berilah kami kemampuan untuk menjauhinya.
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa."
Seorang
Muttaqin tidak puas hanya dengan kemampuan melihat yang benar sebagai
kebenaran. Tapi lebih jauh lagi ia memohon kepada Allah agar dirinya memiliki wala’
(loyalitas) untuk selalu berfihak kepadanya. Demikian pula, ia tidak puas hanya
dengan kemampuan melihat yang batil sebagai kebatilan, tetapi ia memohon lebih
lanjut agar dirinya senantiasa bara (berlepas diri/memutuskan hubungan)
dengan al-bathil.
1 Komentar